Tradisi Malam Jumat Pahingan di Menggoro


Kali ini saya ingin menulis tentang budaya atau Tradisi Jemuah Pahingan di Desa Menggoro. Tradisi tersebut sampai sekarang masih terpelihara dan masih dilakukan oleh banyak orang. Sekitar tahun 2007, ketika saya masih duduk di bangku Aliyah, saya berkunjung bersama teman-teman dan bertemu  salah satu tokoh masyarakat desa setempat untuk menggali informasi mengenai tradisi ini. Pasalnya kami memang mendapat tugas untuk membuat makalah tentang salah satu budaya lokal. Saya merasa bersyukur dengan tugas ini. Dengan begitu, saya bisa mempelajari setidaknya budaya lokal yang ada di daerah dekat rumah saya. Apalagi kita tahu bahwa Indonesia adalah negara multikultural yang kaya akan budaya. Contohnya di Jawa saja, Jawa mempunyai banyak sekali budaya lokal yang berbeda-beda yang masih terpelihara sampai sekarang. Namun terkadang tidak banyak orang tahu dan mau tahu terhadap budaya lokalnya sendiri. Bagi masyarakat Temanggung, tradisi ini sudah tidak asing lagi di telinga. Namun untuk masyarakat luar Temanggung, mungkin masih ada yang belum tahu meskipun ada banyak juga pengunjung yang datang dari luar Temanggung. So, let’s check this out guys!
budaya tradisi wisata religi malam jumat pahing di desa menggoro temanggung
Masjid Jami Menggoro Masa Kini
 Sumber Foto: www.google.com

Ada yang belum tahu di mana letak desa Menggoro? Menggoro adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Tembarak, kabupaten Temanggung. Sekitar 7 km dari pusat kota Temanggung dan dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 20 menit dengan kendaraan. Desa ini meyimpan daya tarik tersendiri dengan adanya wisata religi. Mengapa wisata religi? Ya, karena setiap malam Jum’at Pahing digelar tradisi Jemuah Pahingan. Tradisi ini sudah ada sejak zaman pemerintahan kerajaan Demak. Awal mula kegiatan ini adalah kebiasaan masyarakat yang berkumpul setiap malam Jum’at pahing untuk mendengarkan wejangan dari Nyai Brintik, murid Sunan Kalijaga.
budaya tradisi wisata religi malam jumat pahing di desa menggoro temanggung
Masjid Jami Menggoro Tempo Dulu
 Sumber Foto: www.google.com
Tradisi Jemuah Pahingan dilaksanakan satu kali dalam selapan (35 hari/5 minggu/5 pasaran), yaitu setiap Kamis malam. Inti dari tradisi Jemuah Pahingan tersebut adalah bermujahadah. Mujahadah yaitu berdoa secara bersama-sama yang dilaksanakan di Masjid Jami’ Menggoro. Jemuah Pahing yang dimaksud adalah Kamis malam dalam perhitungan tahun hijriah sementara Pahing merupakan nama salah satu pasaran dalam penanggalan Jawa. Secara tradisi, malam Jum’at merupakan waktu yang baik untuk bermunajat kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan memanjatkan doa serta permohonan. Mujahadah yang dilakukan meliputi zikir (mengingat Allah) dengan membaca beberapa surat dan ayat Al-Qur’an, mengulang lafadh nama-nama Allah dan kalimat-kalimat suci seperti Laa ilaaha illAllah (Tiada Tuhan selain Allah). Meskipun biasanya mujahadah dilakukan bersama-sama oleh kelompok jama’ah tertentu, tetapi boleh juga dilakukan secara perorangan. Dalam melakukan mujahadah mereka berdoa secara khusuk, penuh konsentrasi dan semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT. Mereka yang melakukan mujahadah biasanya mempunyai hajat-hajat tertentu seperti minta diberikan kelancaran rejeki, dipermudahkan dalam menempuh ujian, didekatkan dengan jodoh, dan lain sebagainya. Mereka percaya bahwa dengan berdoa dengan khikmat dan sungguh-sungguh, doa dan permohonan mereka akan dikabulkan oleh Allah SWT. Namun ada juga pengunjung yang menyengajakan untuk datang ke Jemuah Pahing karena telah bernadhar. Misalnya saja, jika anak sembuh dari sakit akan mengajak anaknya datang ke Jemuah Pahingan. Apalagi sebuah nadhar adalah janji yang sudah diikrarkan dalam hati dihadapan Allah, jadi mereka harus menepatinya.
budaya tradisi wisata religi malam jumat pahing di desa menggoro temanggung
Bagian dalam Masjid Jami Menggoro
 Sumber Foto: www.google.com

Salah satu ciri khas yang terdapat dalam tradisi Jemuah Pahingan adalah adanya kembang boreh. Kembang boreh berisi enjet (kapur sirih) yang dicampur dengan pewarna makanan berwarna kuning, rajangan daun pandan dan bunga mawar. Boreh berasal dari bahasa Jawa yang berarti dioleskan atau dibubuhi. Masyarakat sekitar mempunyai kepercayaan bahwa kembang boreh berfungsi sebagai penolak bala. Biasanya mereka mengoleskan pada leher dan kaki. Usai dioleskan, sisanya dibuang di perempatan dan diberi uang recehan. Hal ini dipercayai dapat membuang bala atau penyakit. Dalam tradisi Jemu’ah Pahingan terdapat simbol-simbol khusus yang mempunyai makna tertentu. Simbol-simbol tersebut terdapat pada makanan khas yang wajib ada seperti cucur, kikil, brongkos, ketupat, dan apem. Cucur yang berarti cucuran keringat (red) melambang kerja keras untuk menuai keberhasilan. Kikil dan brongkos merupakan makanan khas dari desa Menggoro. Kemudian ketupat berasal dari kata lepat, dalam bahasa Jawa berarti salah, sehingga mempunyai arti saling memaafkan ketika seseorang membuat kesalahan. Lalu apem yang melambangkan pengampunan terhadap orang-orang yang berbuat kesalahan, memberikan mereka kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Sedangkan kembang boreh sebagai lambang perekat untuk membuang rasa sakit dan dilindungi dari perbuatan tercela. Sehingga namanya akan tetap harum, semerbak seperti bunga. Satu lagi hal yang dipercayai oleh masyarakat adalah barang siapa dapat memeluk saka (tiang) masjid sambil menyentuh pundaknya, atas izin Allah permohonanya akan terkabul. Hal tersebut sangat menarik, melihat tidak semua orang dapat melakukan. Jadi jika Anda datang ke Jemuah Pahingan, Anda boleh mencobanya!  

Pasar malam juga digelar di depan halaman masjid (ada lahan khusus) untuk memenuhi kebutuhan para pengunjung. Selain makanan-makanan yang telah disebutkan sebelumnya, barang-barang yang dijual adalah jenis pakaian, asesoris, mainan anak dan sebagainya. 
budaya tradisi wisata religi malam jumat pahing di desa menggoro temanggung
Pasar Malam Jumat Pahingan Menggoro
Sumber Foto: www.google.com

Berkaitan dengan tradisi ini, dapat kita pahami bahwa dengan seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa telah mengalami akulturasi budaya. Maka tidak heran jika corak dan bentuk kultur Jawa sangat bervariasi. Tak sedikit budaya Jawa diwarnai dengan unsur budaya yang bermacam-macam seperti animisme, dinamisme dan Islam campur menjadi satu. Unsur Animisme, mereka percaya bahwa suatu benda mempunyai roh sebagai contoh mereka yang datang ke tradisi ini, membeli kembang boreh lalu menabur sisanya di perempatan jalan agar terhindar dari roh jahat dan dilindungi oleh Allah. Kemudian unsur dinamisme, mereka mempercayai adanya benda-benda keramat, dan tempat-tempat tertentu yang mempunyai kekuaan gaib dan mustajab untuk berdoa. Seperti masjid adalah tempat yang baik untuk berdoa, mempunyai kekuatan magis. Sementara unsur Islamnya dalah mujahadah yang dilakukan dengan berdoa bersama-sama. Terkait dengan penaburan sisa kembang boreh di perempatan, memang hal tersebut mirip dengan sesaji yang dilakukan umat Hindu dan Budha. Hal ini semakin memperkuat adanya akulturasi dari agama sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. Pergeseran budaya yang belum sepenuhnya berubah ke dalam nilai-nilai Islam dan masih terdapat budaya Hindu yang melekat. 

Secara historis, ada 2 sumber yang mendasari pernyataan tersebut. Yaitu secara tekstual dan artefaktual.
Data tekstual dapat ditemukan dari prasasti, babad, catatan harian, suat-surat keputusan, dan kisah perjalanan tentang dibangunnya Masjid Menggoro. Ada juga cerita secara turun temurun atau pendapat para tokoh masyarakat setempat. Sejarah keberadaan Masjid Menggoro diceritakan dalam 2 versi:

1.      Berkaitan dengan Nyai Brintik, murid Sunan Kalijaga yang konon makamnya ada di dua tempat. Yakni di Jogopati Tembarak dan satunya lagi di komplek Makam Sewu Bantul Yogyakarta.
2.      Dihubungkan oleh salah satu tokoh Wali songo yaitu Sunan Kalijaga di masa kerajaan Demak. Dalam salah satu perjalanan dakwah beliau di Jawa, beliau sampai ke wilayah  Menggoro kemudian mendirikan sebuah masjid.

Hal ini semakin menguatkan adanya pendapat bahwa pusat kebijaksanaan dalam  perkembangan Islam di tanah Jawa mempunyai hubungan erat dengan keberadaan masjid Jami’ Menggoro ini. Pertumbuhan Islam di Jawa yakni di Demak di bawah kendali Raden Patah (Raja pemeluk Islam pertama di Jawa) dan pertimbangan para wali.

Renovasi bangunan masjid juga dilakukan sebagai upaya penyelamatan bangunan. Tentunya merenovasi tanpa mengilangkan ciri khas bangunan tersebut. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 1932 yang dipimpin langsung oleh Bupati Temanggung Cokrosoetomo, kemudian tahun 1958 dilakukan pemugaran, dan tahun 1989 dilakukan renovasi. Mimbar khotbah yang mirip dengan mimbar di Keraton Yogyakarta juga diganti yang baru karena sudah usang dan rusak. Upaya penyelamatan ini dilakukan agar Masjid Jami’ Menggoro tetap berdiri sebagai salah satu situs peninggalan warisan cagar budaya tanpa harus kehilangan ciri khasnya.

Kemudian secara artefaktual, dapat ditunjukan dari beberapa unsur di bawah ini:
1.      Arsitektur dan struktur bangunan dalam masjid yang mengidentifikasikan pola arsitektur masa pertumbuhan Islam di Jawa. Gaya bangunan ini mirip dengan masjid di Demak.
2.      Dua patung sapi betina (Nandini) yang terletak pada plataran masjid. Hal ini menunjukkan bahwa tempat tersebut ada kaitannya dengan peradaban Hindu pada masa silam.  
3.      Candrasengkala (angka tahun yang ditunjukkan oleh rangkaian kata) yang berbunyi: Rasa brahmana resi bumi yang ditulis di gapura masuk halaman masjid. Rangkaian kata tersebut bermakna angka tahun 1786, jadi sekitar tahun 1708 Masehi (praktis pada masa kolonial Belanda). Ornamen gaya garis yang terdapat pada gapura menyerupai gaya bangunan Belanda. Hal ini semakin menguatkan bahwa pembangunan masjid terjadi pada masa penjajahan Belanda. 
4.      Dasar bentuk plataran masjid yang menyerupai bangunan ibadah atau pemujaan agama Hindu. Melihat perjalan sejarah yang ada, menunjukkan bahwa eksistensi Masjid Jami’ Menggoro sudah ada sejak masa pertumbuhan Islam di Jawa.
Nah itu tadi beberapa ulasan tentang Tradisi Jemuah Pahingan di Masjid Jami’ Menggoro yang masih terjaga sampai sekarang. Menarik bukan? Sarat dengan makanan khas dan simbol-simbol yang mempunyai makna tertentu dengan berbagai ritual yang dilakukan. Dari tradisi tersebut, kita dapat menggali lebih dalam asal usul kegiatan ini dan juga sejarah bertenggernya masjid di dusun Menggoro. Penasaran seperti apa suasana Jemuah Pahingan? Tak ada salahnya Anda menyempatkan datang ke sana, bisa dengan keluarga atau teman-teman. Merasakan hangatnya kearifan lokal masyarakat setempat, menjajal kuliner khas Jemuah Pahingan, atau sekedar menyaksikan ramainya suasana malam hari dan mengagumi keunikan bangunan masjid bersejarah yang berkaitan erat dengan masa pertumbuhan Islam di Jawa pada masa silam.

Oleh: Adhisree Cetta S

Baca artikel terkait:
·         Situs Candi Liyangan
·         Wisata Alam Posong
·         Resep dan Sejarah Gudeg Jogja

Kata kunci: budaya, tradisi, tradisi jemuah pahingan, Temanggung, Jawa Tengah, wisata religi.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Tradisi Malam Jumat Pahingan di Menggoro"

  1. Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai tradisi sejarah indonesia.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita menjadi mengetaui lebih jauh mengenai tempat wisata di indonesia.Saya juga mempunyai artikel yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di sini

    ReplyDelete
  2. apik wi.... mengoro is like.... historiyal..

    ReplyDelete