Cerpen: Puisi Untuk Rara Bagian 2

Hidup ini terlalu indah jika tak pernah menyambutnya dengan senyuman. Pagi ini begitu tidak bersemangat. Padahal mentari pagi dengan indah tersenyum padaku. Burung-burung bernyanyi riang untukku. Seakan-akan mereka merasakan kegelisahan yang terjadi padaku. Aku masih terfikirkan Fahri. Bagaimna bisa sudah 3 hari ini aku tidak pernah melihat Fahri. Padahal hari senin kemarin jelas-jelas ia menitipkan puisi yang beramplop orange dengan gambar kartun kesukaanku ini untukku. Biasanya selalu kulihat seseorang menungguku di depan gerbang sekolah, hanya untuk mengajakku pulang bareng. Tapi....sekarang no thing. Yang ada hanya siswa yang hendak pulang dan penjaga sekolah yang sibuk mengatur lalu lintas ditemani dengan POLANTAS. 
Kumpulan Cerpen Sarah Khoiriyah
Puisi Untuk Rara
 Apa mungkin Fahri Cuma memanfaatkan ku saja. Akh tapi menurutku Fahri bukan orang seperti itu. Sore ini langit begitu cerah, aku siap-siap untuk mengikuti eskul hari ini. Aku harap semoga setelah selasai eskul ada seseorang yang menungguku di gerbang. “ Raraaaa...” teriak seorang dari atas gedung kelas. Fahri, ya suara ini mirip sekali dengan Fahri. Awas saja jika benar itu si pecundang Fahri, tanganku akan melayang dan mendarat di perutnya itu. Ketika ku lihat, heemmpp ternyata Ari. Ari adalah salah satu temanku, dia begitu aktif di setiap kegiatan sekolah. Tidak heran jika hampir semua guru mengenalinya. Tetapi aku tidak suka dengan sikapnya yang ceplas-ceplos membuatku tidak nyaman. “ya ada apa??? Jawabku lirih. “ Ini..ini milikmu kan?? “ sambil menunjukan sesuatu ditangannya. “Kalau bukan aku buang saja!!!” sambung Ari dengan memainkan amplop yang di pegangnya. “Aigoo..kok bisa sampai di tangan Ari, ya itu milikku, awas..awas ya jangan dibuka amplopnya..” pintaku dengan cepat menaiki anak tangga. “ Wah..Rara tidak ku sangka, ternyata Si Fahri yang ngirim....ini??? Dia suka tuh sama kamu...!!!” ucapnya so tahu. “Kamu membukanya, membaca semuanya..nggak sopan!!”. Aku langsung mengambil amplop dari tangannya dan pergi meninggalkan Ari. “Maaf, sediikit Ra...” teriak Ari. 

Hidupku sebelumnya tak pernah segelisah ini memikirkan orang, walau gelisah pun itu hanya karena lupa tidak mengerjakan tugas atau tidak bisa mengerjakan soal ulangan. Sampai dirumah amplop dari Fahri hanya aku sentuh, ku pandangi semua sisi. Aku hanya ingin membukanya bersama Fahri, aku ingin Fahri yang membacakan puisi ini untukku. Mungkin itu akan membuat semuanya menjadi sempurna dan terkesan romantis. Aku tersenyum kecil setelahnya fikiranku bercampur aduk. 

Pagi ini aku datang lebih awal dari biasanya, hari ini pemenang lomba puisi saat kegiatan memperingati Hari Sumpah Pemuda kemarin akan mewakili sekolah dalam ajang perlombaan Sastra Puisi di universitas ternama di kotaku. Ketika kami peserta lomba serta guru pembimbing sudah berkumpul siap untuk berangkat, ada yang janggal dari penglihatanku. Aku tidak melihat Fahri berkumpul di sini. “Maaf Pak Hilmi, ada satu peserta lomba yang belum kumpul di sini!!” sahutku gelisah. “ semuanya sudah kumpul Ra, bapak sudah absen tadi. Sekarang ayo semuanya naik mobil!!!” perintah Pak Hilmi. “ tapi pak, Fahri .... ???” desakku. “ Fahri tidak ikut, sekarang ayo kamu naik.” Jelasnya dengan nada terburu-buru. 

Mobil melaju meningalkan sekolah. Aku harap tidak terjadi sesuatu dengan Fahri. Sudah satu tahun lamanya, aku belum pernah berjumpa lagi dengan Fahri, apalagi membuka amplop orange bergambar kartun kesukaanku ini dari Fahri. Sejak kepindahannya yang tidak memberi kabar, bahkan sampai saat ini pun satu sekolah tidak tahu kemana Fahri pindah, kecuali pegawai TU. Beberapa kali bertanya pada bagian TU yang aku dapat hanya jawaban yang sama, tidak memberi tahu jelas kemana pindahnya. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di fikiran Fahri sampai-sampai tidak memberi tahu kepindahannya bahkan kepada teman sekelasnya. Ya setidaknya kepada tetangganya. Tapi aku selalu berharap semoga suatu saat nanti Yang Maha Berkehendak dapat mempertemukan kami dengan Fahri. 

Tidak terasanya waktu begitu cepat kini aku telah selesai menghadapi Ujian Negara dan semoga hasilnya pun memuaskan. Minggu besok aku akan pergi ke rumah bibi bersama my brother Rio di Sleman, Yogyakarta untuk berlibur setelah beberapa bulan kemarin menghadapi berbagai macam ujian, sekaligus aku ingin mencari informasi perguruan tinggi di Yogyakarta. Perjalanan yang sangat melelahkan, hari ini aku terbangun di Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Kuliner, Kota Wisata dan masih banyak lagi julukan untuk Kota Yogyakarta ini. 

Pagi ini aku ingin pergi menelusuri Kota Yogyakarta. Melepaskan penat yang ada di otakku, sekaligus melupakan sejenak seseorang yang selalu terngiang di fikiranku. “Heeiiii..Selamat Datang di Sleman Rara”, aku seperti di sambut oleh burung-burung yang terbang bebas di langit. Pagi ini, Denaiya anak bibi mengajakku untuk pergi melihat Festival Sastra di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Padahal hari pertama di Yogya ini rencanaku inginnya sih keliling Kota Yogyakarta, tapi apa boleh buat aku ya menurut saja apa kata tuan rumah. Sesampainya di tempat tujuan, mataku melihat banyak orang dari berbagai pelosok negeri ini. Mereka sibuk dengan persiapan pentasnya masing-masing. Selang beberapa menit perlombaan akan di mulai dengan pembukaan bebagai puisi yang menarik. Aku hanya mengamatinya dari jauh sedang Denaiya duduk di posisi depan. Begitu besar minatnya untuk melihat perlombaan ini. 

Terdengar ringtone handphone yang berbunyi, aku masih fokus dengan pembukaan acara ini. Tak lama aku mulai menyadarinya, Kak Rio memanggil. Hampir setengah jam aku sibuk menerima telepon, di saat pembicaraanku mulai asyik. Pendengaranku mendengar sesuatu yang tidak asing. Puisi itu ... ya aku pernah mendengarnya, saat perlombaan PHBN di sekolah. Tidak salah lagi ini pasti si pecundang itu. Aku langsung menuju sekretariat lomba dengan tergesa-gesa. “ Maaf mas, peserta yang membaca puisi tadi siapa ya namanya???” tanyaku gelisah. “ eu, sebentar mba..ohh tadi, namanya Fahri Ar-Rahman peserta dari Kalimantan.” Jelasnya. “Makasih mas..”. 

Hari makin siang, matahari kini tepat di atas kepalaku, hawa panas semakin menjadi-jadi dan bersemayam di tubuhku. Rasanya aku ingin pergi sejenak ke kutub utara untuk meredan hawa panas ini. Setengah jam mencari, aku belum menemukan Fahri, memang sulit mencari seseorang dibanyak kerumunan manusia. 

Menyerah... mungkin itu kata yang sangat mudah di ucapkan saat ini. Waktu sudah memasuki shalat dzuhur, aku mengajak Denaiya untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim. Setelahnya aku duduk bersender di depan Mesjid. Kurasakan ketenangan, hatiku terasa sejuk. “ Wahai Engkau Yang Maha Mendengar, jika hari ini adalah waktu yang tepat pertemuanku dengan Fahri..maka pertemukanlah kami. Dan ridhoilah pertemuan kami ini. Sesungguhnya Engakulah Yang Maha Berkehendak atas semuanya. Aamiin.” Do’aku dalam hati. 

“Mba Rara, ayo sekarang perlombaannya mau di mulai lagi..” ajak Denaiya menarik tangannku. Aku mengikuti langkahnya yang terburu-buru itu. Peserta lomba silih berganti, aku mulai terasa bosan terlalu lama di sini. “ De... kita pulang saja yu, aku laper nih..!!” ucapku manja. “ Pulangnya nanti sore saja mba, sekarang masih panas. Kalau mba laper di sekitar sini pasti ada penjual nasi... aku nunggu mba di sini saja..” jawabnya dengan mata yang sibuk melihat para pesetra lomba. “ Yo wis, sakarep mu saja” timpalku. Aku memesan satu nasi timbel, pembeli begitu ramai di sini. Mungkin bagianku agak lama. Perutku semakin terasa lapar. 15 menit menunggu pesananku tidak kunjung datang. Aku memutuskan untuk membeli jajanan saja. 

Semakin sore para pengunjung semakin ramai. Di atas panggung sana peserta lomba masih ku dengar dengan puisi bawaannya masing-masing. Entah kapan akan selesai. Semua perlombaan telah selesai, nyatanya harapanku untuk bertemu Fahri bukan hari ini. Mungkin Tuhan masih mempersiapkannya, jika sudah tepat pada waktunya. Semua pasti akan terjadi. Ya...pasti terjadi. Berjalan kaki menuju rumah bibi di sore yang ramai ini pasti menyenangkan. 

“Mba..tadi kemana saja, padahal tadi ada peserta yang membaca puisinya itu, pas bait terakhirnya menyebutkan nama yang sama dengan Mba...”Rara”...heee” jelasnya dengan ceria. Aku hanya tersenyum. “Akh mungkin itu hanya kebetulan saja, aku tidak terlalu berharap untuk bisa bertemunya, biar semuanya terjadi dengan kehendak-Nya.” Bisikku dalam hati. “Nah...mba..mba, aku masih hapal. Itu tuh orang yang baca puisinya... Cakep ya Mba.” Denaiya melambaikan tangannya. “Akhhh..” teriakku kegirangan, ini tidak salah lagi itu sih bener Fahri. Aku menyuruh Denaiya pulang lebih dulu. Tidak membuang waktu aku langsung pergi meninggalkan Denaiya yang kebingungan. 

Ternyata Tuhan memang menghendaki pertemuanku dengan Fahri hari ini. Terimakasih Tuhan untuk pertemuanku hari ini. Aku pergi menuju alun-alun Kota Jogyakarta bersama Fahri. Setelah setahun lamanya perpisahannku dengannya tidak ada yang berubah dari diri Fahri, dia masih tetap Fahri yang sederhana tidak banyak bicara. Kami banyak bercerita satu sama lain tentang sekolahanku dan sekolah baru Fahri. “hey..puisi yang ku titipkan untuk mu sudah kamu baca Ra???” tanya Fahri tersenyum. “oohh..itu, aku hanya menyentuh dan memandanginya saja...!” aku langsung mengeluarkan amplopnya dan memberikannya pada Fahri. “dasar..bodoh, kenapa kamu hanya menyentuh dan memandanginya saja????” nadanya kesal. “ maaf Fahri, “Aku hanya ingin membukanya bersama Fahri, aku hanya ingin kamu yang membacakan puisi ini untukku”. Jelasku singkat. “Hahhh...benar-benar bodoh...kamu!!!!” Fahri mencubit pipiku. “beraninya...kamu pecundang, nyubit pipi saya yah???” jawabku dengan logat sunda. “wey..wey..wey kamu bilang aku pecundang, enak saja. Ya sudah lah. Dari pada nanti ribut. Sekarang aku baca puisinya saja. Spesial untuk Rara.........”. 

Tidak terasa waktu semakin sore, kini mentari seakan di telan bumi. Sang purnama dan bintang-bintang siap untuk menghiasi langit malam. Selepas Ba’da Isya, kami duduk di pelataran mesjid dengan wajah penuh bahagia. “ Ra, besok aku akan kembali ke Kalimantan. Hari ini aku bahagia bisa bertemu kamu lagi. Maaf soal kepindahanku yang tidak memberitahu kamu juga teman-teman lainya. Aku hanya diam, tidak berbicara sepatah katapun. Setelahnya kami sibuk memandangi indahnya bintang di langit. Hari semakin larut, waktu menunjukan pukul sembilan malam. 

”Itu mobilnya sudah datang” ucapku yang seketika membuyarkan pandangan Fahri. “hati-hati di jalan ya, sampai di Kalimantan jangan lupa kabarin aku .” Sambungku. “Aku ingin melihatmu pergi dulu..” pinta Fahri. “ Tidak usah, aku yang ingin melihatmu pergi. “ ya sudah, kamu hati-hati di jalan ya....” Fahri membuka pintu mobil. “ Fahri....” dengan cepat aku mendekat. “ hari ini aku bahagia. Terima kasih ya” bisikku. Malam ini perpisahanku dengan Fahri. Esok pagi Fahri akan bertolak ke Kalimantan. Terasa berat hatiku untuk berpisah kembali dengan Fahri. Semoga Allah SWT mempertemukan kita lagi Fahri.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cerpen: Puisi Untuk Rara Bagian 2"

Post a Comment