Cerpen: Puisi Untuk Rara Bagian 1
Rasanya
susah sekali untuk bisa ngobrol dengan Rara, bahkan untuk bertemu dengannya pun
aku tidak berani...entah kenapa nyaliku bisa ciut seperti ini jika dengan
seorang perempuan seperti Rara. Padahal sudah hampir satu tahun ini aku satu
sekolah dengannya. Beberapa kali kesempatan untuk dapat berbicara dengan Rara
pun aku sia-siakan. Seperti kejadian waktu malam itu, aku mencoba untuk menelpon
Rara, setelah Rara mengangkat teleponku dan terdengar suaranya yang sangat khas
itu, aku tidak berani untuk berbicara. Akhirnya ku tutup saja telepon itu walau
sebenarnya tidak sopan.
Puisi Untuk Rara |
Sekolah
adalah waktu yang ku tunggu-tunggu, alasannya karena di sekolah aku dapat
sepuasnya melihat Rara. Entah sejak kapan aku menyukai Rara dan entah alasan
apa aku menyukai Rara. Kelas ku yang di atas memudahkan ku untuk selalu dapat
melihat Rara, sering kali ku ambil gambar Rara menggunakan kamera digital milik
ku. Ketika ia melewati
depan kelasku. Yah walaupun aku takut ketahuan oleh Rara tapi kalau suka ya gimana? Pokoknya jadi
selalu kepo sama semua hal tentang diri Rara. Rasanya sudah terlalu lama aku
menyukai Rara, kini aku sudah mulai memasuki semester I di kelas XI.
Aku
masih tidak berani untuk mengatakannya. Besok di sekolahku akan di adakan
perlombaan puisi, pidato, dan karya seni siswa untuk memperingati Hari Sumpah
Pemuda. Aku di tunjuk kelasku untuk mengikuti lomba puisi, tidak ku sangka
ternyata Rara mewakili kelas dengan mata lomba yang sama dengan ku. Sebelum di
mulai, kepala sekolah membuka kegiatan ini, setelah itu kami menuju tempat
lomba masing-masing yang sudah di sediakan. Aku duduk di baris ke-dua, tidak
lama kemudian Rara duduk tepat di sampingku. Tubuh ku selang beberapa menit
mengeluarkan banyak keringat dan mulai merasa gemetar mungkin ini ekspresi dari
perasaanku yang merasa senang bisa duduk sedekat ini dengan Rara atau ntah tak
tahu kenapa. Akhirnya ku putuskan untuk pindah tempat duduk ke pojok kiri
belakang, aku takut jika lama-lama duduk bersebelahan dengan Rara konsentrasi
ku akan pecah. “ heii..mau kemana, sebentar lagi mau di mulai loh?” tanya Rara
dengan menepuk punda ku. Rasanya aku semakin grogi tak karuan. “ ohhhh...eeuuuu
mmmbbbb.. ini aku tidaaak ... tidak biasa duduk di depan.. tadi aku
lupa...hee!” jawabku cengengesan. Ini kesempatan bagus untuk ku, aku bisa
mengambil gambar Rara lebih dekat rasanya hari ini aku bahagia sekali, mungkin baru pertama kalinya sedekat ini
dengan Rara tanpa ku sengaja, biasanya kalau pengen sedekat ini dengan Rara
selalu aku rencanakan dan hasilnya 90% gagal.
Lomba
telah berakhir dan pemenang akan di umumkan hari senin tepat setelah upacara
selesai. Tiba di rumah ku pindahkan semua gambar yang aku dapat hari ini ke
Laptop milik ku. Telah ku coba lagi beberapa kali untuk berbicara dengan Rara
lewat telepon namun tak pernah ada yang berhasil, nyaliku yang tadinya Full
100% tiba-tiba turun drastis – 100% sungguh keterlaluan diriku ini.
Hari
ini cuaca begitu cerah dan nampak pula segerombolan burung berterbangan dari
arah selatan ke utara atau pun dari barat ke timur, layaknya TNI Angkatan Udara
yang sedang patroli. “ upacara selesai masing-masing pemimpin pasukan
membubarkan pasukannya” ucap sang protokol. Seperti yang ku katakan sebelumnya,
setelah upacara selesai ini semua kegiatan perlombaan sabtu kemarin akan di
umumkan pemenangnya. Perlombaan pidato dan karya seni siswa telah selesai di
umumkan pemenangnya dan sekarang giliran perlombaan piusi. Aku tidak begitu
yakin akan menjadi juara pertama lomba puisi ini, aku memutuskan untuk kekelas
meninggalkan lapangan upacara. Mungkin semua siswa begitu kepo sehingga masih
bertahan di lapangan upacara. Masih terdengar suara guru yang mengumumkan
pemenang lomba kaki ku masih berjalan di atas bumi, tak lama ku dengar nama
Rara disebut hatiku sungguh sangat bahagia bagaimanapun juga Rara adalah orang
yang aku suka sejak satu tahun yang lalau samapai sekarang dan mungkin
selamanya. Aku menaiki tangga menuju kelasku. “................dan juara
pertama untuk lompa puisi adalah Fahri. Untuk ananda Fahri di persilahkan maju
dan menyesuaikan baris dengan pemenang lainnya. Fahri silahkan untuk ke
depan...” ucap guru itu. “ Fahri...kamu di panggil ke lapangan tuh, ayo cepet
sana..!!!” perintah Agung dengan menarik tangan ku. “ hah.. masa.. aku menang
nih..haha yeeeaaahhhh.” Jawabku dengan girang.
Aku menuju kelapangan, mata ku sibuk melihat
Rara yang tepat berada ke-dua dari sampingku. Ketika aku akan meninggalkan
lapangan ntah kenapa kaki ku tersandung kaki seorang teman, aku terjatuh begitu
juga dengan piagam beserta piala ku ikut berjatuhan. Hampir semua orang yang
berada di lapangan mentertawakannku dengan lepas. Rasanya malu banget di
tertawakan semua siswa, aku langsung bergegas berdiri, terlihat seseorang
membatuku Ia mengambil piagam dan piala yang berserakan bebas di atas tanah,
aku langsung mengambilnya dari seorang teman itu dan meninggalkan lapangan.
Ketika tiba di dalam kelas baru ku sadari ternyata siswa yang tadi menlongku
Rara, bodohnya aku tidak mengucapkan terima kasih. Mungkin sekarang aku sudah di
cap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. “Teng.....” bel berbunyi tepat
pukul 14.00 semua siswa meninggalkan sekolah menuju rumah masing-masing,
kecuali siswa yang mengikuti ekstrakulikuler atau kegiatan lainnya.
Hari
ini aku tidak langsung pulang, bukan karena aku mengikuti eskul atau kegiatan
lainnya. Sore ini aku akan menemui Rara setelah selesai eskul yang di ikuti
Rara. Sambil menunggu Rara, aku duduk di depan kelas sambil membuat karangan
puisi, ya itulah kebiasaanku kalau nggak ada kerjaan ya corat-coret buku
alhasil kadang hasil corat-coretku ini membawa berkah. Tahun lalu aku pernah
mengikuti Festival Sastra di Yogyakarta dan alhamdulillah yang tadinya cuma
iseng-iseng, ternyata puisiku terpilih menjadi pemenang ke-dua. Hari semakin
sore, mentarin pun mulai bergeser dan tenggelam, hari ini tidak boleh gagal
bagaimana pun kalau tidak cepat mengucapkan terima kasih, rasanya ada yang
mengganjal di hati. Aku tepat 5 meter di belakang Rara, aku menari nafas
berusaha untuk menenangkan diri. Langkahku mulai ku percepat dan berulang kali
menarik nafas panjang. “ Raraaaaaa.....” panggil ku dengan menghela nafas. “
hah...iaaa ada apa ya Fahri???” jawab Rara keheranan. “Mbbbb..maaf mengganggu
waktu mu, aku mau bilang terima kasih soal tadi pagi” aku tersenyum kecil. Saat
telah usai aku mengucapkan terima kasih kepada Rara, terdengar dari depan
gerbang sekolah seorang lelaki muda yang duduk diatas motornya itu memanggil
Rara. Rara langsung berlari dan meninggalkanku tanpa mengucapkan apapun
kepadaku. Yang ada di pikiranku saat ini siapakan gerangan pemuda itu???? Aku
harap dia bukan kekasihnya.
Pagi
ini langit menyambut dengan menurunkan hujan, walaupun hanya rintik-rintik
kecil. Aku tiba di sekolah 30 menit sebelum bel masuk. Semakin siang hujan
bertambah besar samapi pulang sekolah pun hujan masih mengguyur bumi ini. Aku
berjalan dengan langkah cepat, tiba-tiba dari belakang seseorang berbagi payung
denganku. Tidak ku sangka ternyata Rara. Mimpi apa aku semalam???, sore ini
bisa sepayung berdua dengan Rara hatiku girang kesenangan rasanya seperti
menemukan air di tengah gurun pasir yang amat sangat panas. Sepanjang jalan aku
berbincang-bincang dengan Rara, walau sebenarnya malu tapi rasanya semakin hari
aku merasa semakin bisa dekat dengan Rara. Hari terus berganti senin, selasa,
rabu, kamis, jum’at, dan sabtu sudah satu minggu ini aku sering pulang bareng
dengan Rara, dan rencanaku sore ini ingin mengajak Rara jalan-jalan. Cuaca sore
hari ini sungguh bersahabat, rasanya tidak merasakan lelah sedikitpun walau
tadi hampir memainkan semua games bersama Rara, di tambah sekarang pulang jalan
kaki pun kaki ku tidak protes untuk meminta naik bus kota. “ Fahri, bener nih
kamu mau nemenin aku jalan kaki samapi rumah??emangnya nggak pegel kaki kamu??
Tanya Rara meragukanku. “ aakkkhhhhhh kamu ini, aku nggak pegel kok. Lagian ya
aku sering jalan kaki kalau di kampung nenek.” Aku tertawa kecil. “ oh ia,
Fahri selamat ya buat lomba puisinya. Kamu bagus loh pas bacainnya seperti
pencipta yang membaca puisi karangannya sendiri.” Ucap Rara dengan menjabat
tanganku. “ wah, kamu ini paranormal ya?” ejek ku. “heeeeeyy, sembarangan
bicara kamu?” tangannya memukulku. Aku menghela nafas “ bercanda...bercanda.
..puisi itu memang aku yang buat sendiri.” Jelasku. “hebat, Fahri aku juga mau
donk di bikin puisi. Soalnya ya seumur hidupku belum pernah ada yang bikinin
puisi untuk ku, boleh ya......???” Rara tersenyum.
Malam
yang dingin sekaligus malam yang jahat, sesekali aku teringat ucapan Rara tadi
sore. Kenapa malam ini aku bilang malam yang jahat, ayah ku mendapat surat
pemberitahuan dari kantornya bahwa ayah diperintahkan untuk tugas ke
Kalimantan. Rasanya baru tadi sore aku bisa seakrab ini dengan Rara, tapi besok
aku sudah harus pergi ke Kalimantan. Setahun lamanya aku menyukai Rara dan
berjuang untuk dapat akrab dengan Rara tapi setelah keinginanku tercapai
semuanya akan hilang besok.
Pagi
ini tidak bersemangat sekali, aku dan ayah pukul 07.00 akan terbang ke
Kalimantan. Sebelum ke bandara, aku pergi ke sekolah menitipkan puisi yang
dibungkus amplop ini untuk Rara kepada teman sekelasnya. Setelah itu menemui
pegawai TU sekolah, sekaligus meminta tolong untuk tidak memberitahukan kepada
teman kelasku kalau aku telah pindah sekolah. Berat sekali untuk meninggalkan
sekolah ini, aku masuk mobil menutup pintu rapat-rapat dan membuka setengah
jendela mobil. Aku harap hari ini, hari terakhir ini aku dapat melihat wanita
yang aku sukai Rara untuk terakhir kalinya. Mobil dengan pelan meninggalkan
sekolah. Pesawat melaju dan sekarang mungkin sudah meninggalkan Pulau Jawa,
pikiranku masih teringat Rara. Tega sekali aku sampai-sampai tidak
memberitahukan Rara kalau aku akan pindah bahkan bodohnya lagi, aku tidak
menyimpan nomor rumah Rara di kontak Handphoneku. Semoga suatu saat nanti kita
bisa bertemu lagi Ra.
Bersambung...
Oleh: Sarah Khoiriyah
0 Response to "Cerpen: Puisi Untuk Rara Bagian 1"
Post a Comment